protein merupakan suatu zat makanan yang sangat
penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh
serta sebagai zat pembangun dn pengatur. Protein adlaah polimer dari asam amino
yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-umsur
C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga
(Winarno, 1992).
Protein merupakan suatu polipeptida dengan
BM yang sangat bervariasi dari 5000 samapi lebih dari satu juta karena molekul
protein yang besar, protein sangat mudah mengalami perubahan fisis dan
aktivitas biologisnya. Banyak agensia yang menyebabkan perubahan sifat alamiah
dari protein seperti panas, asam, basa, solven organik, garam, logam berat,
radiasi sinar radioaktif (Sudarmadji, 1996).
Struktur asam amino
digambarkan sebagai berikut:
H
H2N C
COOH
R
(Lehninger,
1995).
Apabila asam amino larut dalam air, gugus karboksilat
akan melepaskan ion H+, sedangkan gugus amina akan menerima ion H+,
seperti reaksi berikut:
Oleh adanya kedua gugus tersebut asam amino dalam
larutan dapat membentuk ion yang bermuatan positif dan juga bermuatan negatif
atau disebut juga ion amfoter (zwitterion). Keadaan ion ini sangat tergantung
pada pH larutan. Apabila asam amino dalam air ditambah dengan basa, maka asam
amino akan terdapat dalam bentuk (I) karena konsentrasi ion OH- yang
tinggi mampu mengikat ion-ion H+ pada gugus –NH3+.
Sebaliknya bila ditambahkan asam ke dalam larutan asam amino, maka konsentrasi
ion H+ yang tinggi mampu berikatan dengan ion –COO-
sehingga terbentuk gugus –COOH sehingga asam amino akan terdapat dalam bentuk
(II) (Anna Poedjiadi, 1994).
Dalam suatu sistem elektroforesis yang memiliki
elektroda positif dan negatif, asam amino akan bergerak menuju elektroda yang
berlawanan dengan muatan asam amino yang terdapat dalam larutan. Apabila ion
asam amino tidak bergerak ke arah negatif maupun positif dalam suatu sistem elektroforesis maka pH
pada saat itu disebut pH isolistrik. Pada pH tersebut terdapat keseimbangan
antara bentuk-bentuk asam amino sebagai ion amfoter, anion dan kation (Anna
Poedjiadi, 1994).
Gugus karboksil pada asam amino dapat dilepas dengan
proses dekarboksilasi dan menghasilkan suatu amina. Gugus amino pada asam amino
dapat bereaksi dengan asam nitrit dan melepaskan gas nitrogen yang dapat diukur
volumenya. Van Slyke menggunakan reaksi ini untuk menentukan gugus amino bebas
pada asam amino, peptida maupun protein. (Anna Poedjiadi, 1994).
Pada dasarnya suatu peptida adalah asil-asam amino,
karena gugus –COOH dan –NH2 membentuk ikatan peptida. Peptida
didapatkan dari hidrolisis protein yang tidak sempurna. Apabila peptida yang
dihasilkan dihidrolisis lebih lanjut akan dihasilkan asam-asam amino. (Anna
Poedjiadi, 1994).
Sifat peptida ditentukan oleh gugus –COOH, –NH2
dan gugus R. Sifat asam dan basa pada peptida ditentukan oleh gugus –COOH dan
–NH2 , namun pada rantai panjang gugus –COOH dan –NH2 yang terletak diujung rantai tidak lagi
berpengaruh. Suatu peptida juga mempunyai titik isolistrik seperti pada asam
amino. Reaksi biuret merupakan reaksi warna untuk peptida dan protein. (Anna
Poedjiadi, 1994).
Struktur protein dapat dibagi menjadi empat bentuk; primer, sekunder,
tersier dan kuartener. Susunan linier asam amino dalam protein merupakan
struktur primer. Susunan tersebut akan menentukan sifat dasar protein dan
bentuk struktur sekunder serta tersier. Bila protein menandung banyak asam
amino dengan gugus hidrofobik, daya kelarutannya kurang dalam air dibandingkan
dengan protein yang banyak mengandung asam amino dengan gugus hidrofil.
(Winarno, 1992).
Protein yang
terdapat dalam bahan pangan mudah mengalami perubahan-perubahan, antara lain:
1. Dapat terdenaturasi oleh perlakuan
pemanasan.
2. Dapat terkoagulasi atau mengendap oleh
perlakuan pengasaman.
3. Dapat mengalami dekomposisi atau pemecahan
oleh enzim-enzim proteolitik.
4. Dapat bereaksi dengan gula reduksi,
sehingga menyebabkan terjadinya warna coklat.
Denaturasi protein dapat
diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhdap struktur sekunder, tersier
dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen.
Karena itu denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan
hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan atau wiru
molekul protein. (Winarno, 1992).
Denaturasi protein
Denaturasi protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi
terhadap struktur sekunder, tertier dan kuartener molekul protein tanpa
terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovelen. Karena itu, denaturasi dapat
diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hydrogen, interaksi hidrofobik,
ikatan garam dan aterbukanya lipatan atau wiru molekul protein (Winarno, 1992).
Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Lapisan molekul
bagian dalam yang ersifat hidrofobik akan keluar sedangkan bagian hidrofilik
akan terlipat ke dalam. Pelipatan atau pembakikkan akan terjadi bila protein
mendekati pH isoelektris lalu protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas
akan bertambah karena molekul mengembang menjadi asimetrik, sudut putaran optis
larutan protein juga akan meningkat (Winarno, 1992).
Denaturasi
protein meliputi gangguan dan kerusakan yang mungkin terjadi pada struktur
sekunder dan tersier protein. Sejak diketahui reaksi denaturasi tidak cukup
kuat untuk memutuskan ikatan peptida, dimana struktur primer protein tetap sama
setelah proses denaturasi. Denaturasi terjadi karena adanya gangguan pada
struktur sekunder dan tersier protein. Pada struktur protein tersier terdapat
empat jenis interaksi yang membentuk ikatan pada rantai samping seperti; ikatan
hidrogen, jembatan garam, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik non polar,
yang kemungkinan mengalami gangguan. Denaturasi yang umum ditemui adalah proses
presipitasi dan koagulasi protein (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart, C.E., 2003).
Denaturasi karena Panas:
Panas
dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non
polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan
menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat
sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Protein telur mengalami
denaturasi dan terkoagulasi selama pemasakan. Beberapa makanan dimasak untuk
mendenaturasi protein yang dikandung supaya memudahkan enzim pencernaan dalam
mencerna protein tersebut (Ophart, C.E., 2003).
Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi
sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas
akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur
alami protein tapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan
peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit (Ophart,
C.E., 2003).
Alkohol dapat merusak ikatan hidrogen:
Ikatan
hidrogen terjadi antara gugus amida dalam struktur sekunder protein. Ikatan
hidrogen antar rantai samping terjadi dalam struktur tersier protein dengan
kombinasi berbagai asam amino penyusunnya (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart,
C.E., 2003)
Denaturasi karena Asam dan basa:
Protein
akan mengalami kekeruhan terbesar pada saat mencapai ph isoelektris yaitu ph
dimana protein memiliki muatan positif dan negatif yang sama, pada saat inilah
protein mengalami denaturasi yang ditandai kekeruhan meningkat dan timbulnya
gumpalan. (Anna, P., 1994). Asam
dan basa dapat mengacaukan jembatan garam dengan adanya muatan ionik. Sebuah
tipe reaksi penggantian dobel terjadi sewaktu ion positif dan negatif di dalam
garam berganti pasangan dengan ion positif dan negatif yang berasal dari asam
atau basa yang ditambahkan. Reaksi ini terjadi di dalam sistem pencernaan, saat
asam lambung mengkoagulasi susu yang dikonsumsi (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart, C.E., 2003)
Denaturasi karena Garam logam
berat:
Garam
logam berat mendenaturasi protein sama dengan halnya asam dan basa. Garam logam
berat umumnya mengandung Hg+2, Pb+2, Ag+1 Tl+1,
Cd+2 dan logam lainnya dengan berat atom yang besar. Reaksi yang
terjadi antara garam logam berat akan mengakibatkan terbentuknya garam protein-logam
yang tidak larut (Ophart, C.E., 2003).
Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi
dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan ph larutan
diatas pi karena protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif
diperlukan ph larutan dibawah pi karena protein bermuatan positif. Ion-ion
positif yang dapat mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++,
Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++,
sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion
salisilat, triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfosalisilat. (Anna, P., 1994).
Garam logam berat merusak ikatan disulfida:
Logam
berat juga merusak ikatan disulfida karena affinitasnya yang tinggi dan
kemampuannya untuk menarik sulfur sehingga mengakibatkan denaturasi protein
(Ophart, C.E., 2003).
Agen pereduksi merusak ikatan disulfida:
Ikatan
disulfida terbentuk dengan adanya oksidasi gugus sulfhidril pada sistein.
Antara rantai protein yang berbeda yang sama-sama memiliki gugus sulfhidril
akan membentuk ikatan disulfida kovalen yang sangat kuat. Agen pereduksi dapat
memutuskan ikatan disulfida, dimana penambahan atom hidrogen sehingga membentuk
gugus tiol; -SH (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart,
C.E., 2003)
Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Lapisan molekul
protein bagian dalam yang bersifat
hidrofobik akan keluar, sedangkan bagian yang hidrofilik akan terlipat ke
dalam. Pelipatan atau pembalikkan terjadi bila larutan protein mendekati pH
isoelektris, lalu protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas akan bertambah
karena molekul mengembang dan menjadi asimetrik, sudut putaran optis larutan
protein juga akan meningkat. Denaturasi protein dapat disebabkan oleh panas,
pH, bahan kimia, mekanik dan lain-lain. (Winarno, 1992).
Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi dengan ion logam.
Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan ph larutan diatas pi karena
protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif diperlukan ph larutan
dibawah pi karena protein bermuatan positif. Ion-ion positif yang dapat mengendapkan
protein adalah; Ag+, Ca++, Zn++, Hg++,
Fe++, Cu++ dan Pb++, sedangkan ion-ion negatif
yang dapat mengendapkan protein adalah; ion salisilat, triklorasetat, piktrat,
tanat dan sulfosalisilat. (Anna, P., 1994).
Protein akan mengalami kekeruhan terbesar pada saat mencapai ph
isoelektris yaitu pH dimana protein memiliki muatan positif dan negatif yang
sama, pada saat inilah protein mengalami denaturasi yang ditandai kekeruhan
meningkat dan timbulnya gumpalan. (Anna, P., 1994).
Pada umumnya
kadar protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri
(S.A. & Suwedo H. ,1987). Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan
bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat
tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1989). Salah satu
parameter nilai gizi protein adalah daya cernanya yang didefinisikan sebagai
efektivitas absorbsi protein oleh tubuh (Del Valle, 1981). Berdasarkan kandungan
asam-asan amino esensialnya, bahan pangan dapat dinilai apakah bergizi tinggi
atau tidak. Bahan pangan bernilai gizi tinggi apabila mengandung asam amino
esensial yang lengkap serta susunannya sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Protein yang
mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap
oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
daya cerna protein dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin
keras bahan, maka akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan
kompleks yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat
berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein- fitat, dan sebaginya.
Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin
inhibitor dan fitat (Muchtadi, 1989).
Untuk
menentukan kualitas protein dalam bahan makanan dapat dilakukan secara in vitro, yaitu metode penentuan
kulaitas protein secara khemis berdasarkan pada pemecahan protein oleh enzim
proteolitik seperti pepsin, tripsin, khimotripsin, dan aminopeptidase
(Narasinga, 1978). Analisis ini memberikan gambaran berlangsungnya proses
pencernaan protein di lambung dan usus.
Enzim yang
biasa digunakan dalam percobaan adalah enzim pepsin yang merupakan golongan
dari enzim endopeptidase, yang dapat
menghidrolisis ikatan-ikatan peptida pada bagian tengah sepanjang rantai
polipeptida dan bekerja optimum pada pH
2 dan stabil pada pH 2-5. Enzim ini dihasilkan dalam bentuk pepsinogen yang
yang belum aktif di dalam getah lambung. Pepsin berada dalam keadaan inaktif
sempurna pada keadaan netral dan alkalis. Enzim ini bekerja dengan memecah
protein menjadi proteosa dan pepton (Del valle, 1981).
Analisis
protein secara in vitro terbagi atas
dua metode. Metode pertama adalah pepsin digest residue index (PDR) menggunakan
enzim pepsin sebagai penghidrolisis sampel protein. Sedangkan metode kedua
adalah pepsin pancreatin digest index yang menggunakan dua macam enzim yaitu
pepsin dan pancreatin. Pada kedua metode tersebut dibandingkan jumlah nitrogen
pada sampel dan pada residu sampel setelah dilakukan hidrolisis oleh enzim.
Peneraan
jumlah protein dilakukan dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh
suatu bahan. N total bahan diukur dengan menggunakan metode mikro-Kjeldahl.
Prinsip dari metode ini adalah oksidasi senyawa organik oleh asam sulfat untuk
membentuk CO2 dan H2O serta pelepasan nitrogen dalam
bentuk ammonia yaitu penentuan protein berdasarkan jumlah N. Dalam penentuan
protein seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang
ditentukan. Akan tetapi teknik ini sulit sekali dilakukan mengingat kandungan
senyawaan N lain selain protein dalam bahan juga terikut dalam analisis ini.
Jumlah senyawaan N ini biasanya sangat kecil yang meliputi urea, asam nukleat,
ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Oleh karena
itu penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein
yang ada. Kadar protein yang ditentukan dengan cara ini biasa disebut sebagai protein kadar/crude
protein (Sudarmadji, 1996). Analisa protein cara kjeldahl pada dasarnya dibagi
menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, destilasi dan titrasi.
Penentuan kandungan air dalam bahan
makanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimana hal ini tergantung dari
sifat bahannya. Dalam percobaan, analisa kadar air ditentukan dengan metode
pengeringan (Thermogravimetri). Prinsipnya adalah menguapkan air yang ada dalam
bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan tersebut sampai berat
konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan
murah, akan tetapi memiliki berbagai kelemahan. Diantaranya ialah:
v
Bahan lain selain air juga ikut menguap dan ikut
hilang bersama dengan uap. Misalnya alcohol, asam asetat, minyak aksim, dll.
v
Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang
menghasilkan air atau zat mudah menguap lain. Contoh: gula mengalami
dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi, dsb.
v
Bahan yang mengandung bahan yang mengikat air
secara kuat sekali melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
(Sudarmadji,
1996).
B. Tinjauan Bahan
1.
Telur Itik
Bobot dan ukuran telur itik
rata-rata lebih besar dibandingkan dengan telur ayam. warna kulit telurnya agak
biru muda. karena bau amisnya yang tajam, penggunaan telur itik dalam berbagai
makanan tidak seluas telur ayam. Selain baunya yang lebih amis, telur itik juga
mempunyai pori-pori yang lebih besar, sehingga sangat baik untuk diolah menjadi
telur asin (Anonim, 20054).
2.
Telur Asin
Telur adalah salah
satu sumber protein hewani yang memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna, dan
bergizi tinggi. Telur terdiri dari protein 13 %, lemak 12 %, serta vitamin, dan
mineral. Nilai tertinggi telur terdapat pada bagian kuningnya. Kuning telur
mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan serta mineral seperti : besi,
fosfor, sedikit kalsium, dan vitamin B kompleks. Adapun putih telur yang
jumlahnya sekitar 60 % dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein
dan sedikit karbohidrat (Anonim, 20061).
Telur asin adalah telur utuh yang diawetkan dengan adonan yang dibubuhi
garam. Ada 3 cara pembuatan telur asin yaitu (Anonim, 20062):
a.
Telur
asin dengan adonan garam berbentuk padat atau kering;
b.
Telur
asin dengan adonan garam ditambah ekstrak daun teh;
c.
Telur
asin dengan adonan garam, dan kemudian direndam dalam ekstrak atau cairan teh.
Adapun diagram alir pembuatan
telur asin adalah:
|
(Anonim, 20062)
Dibanding telur segar mutu protein telur
asin sudah agak menurun. Garam telah menggumpalkan proteinnya, sehingga
penyerapannya di dalam tubuh tidak semudah penyerapan protein telur segar.
Perbedaan ini dapat diamati dari konsistensi bagian kuning pada telur asin
lebih keras daripada bagian kuning telur segar. Penurunan nutrisi yang terjadi
selama penggaraman hanyalah pada kandungan betakarotennya yang cukup nyata.
Dari 1.230 IU betakaroten pada telur segar, hanya tinggal 841 IU saja setelah
diasinkan. Sebaliknya, telur seribu tahun (telur hitam) banyak sekali mengalami
kerusakan komposisi protein dan betakaroten. Satu-satunya nutrisi yang
potensial hanyalah kalsium, karena kandungannya meningkat tajam dibanding telur
segar. Nutrisi lain yang meningkat akibat pengasinan telur adalah kalsium. Hal
ini tentu menguntungkan, karena kalsium sangat diperlukan dalam pembentukan
tulang yang kuat. Penambahan kalsum ini berasal dari penyerapan mineral dari
media pembalut telur selama penggaraman, terutama dari bata merah atau abu
sekam. Kandungan kalsium meningkat 2,5 kali setelah
pengasinan (Anonim, 20054).
Komposisi kimia telur segar dan telur asin:
Komposisi
|
Telur
ayam
|
Telur
bebek segar
|
Telur
bebek asin
|
Kalori (kal)
|
162
|
189
|
195
|
Protein (gr)
|
12,8
|
13,1
|
13,6
|
Lemak (gr)
|
11,5
|
14,3
|
13,6
|
Hidrat arang
(gr)
|
0,7
|
0,8
|
1,4
|
Kalsium (mg)
|
54
|
56
|
120
|
Fosfor (mg)
|
180
|
175
|
157
|
Besi (mg)
|
2,7
|
2,8
|
1,8
|
Vit. A (SI)
|
900
|
1230
|
841
|
Vit. B-1 (mg)
|
0,10
|
0,18
|
0,28
|
Vit.C (mg)
|
0
|
0
|
0
|
Air (gr)
|
74
|
70,8
|
66,5
|
b.d.d (%)
|
90
|
90
|
83
|
(Anonim, 20062)
3.
Enzim pepsin.
Pepsin adalah enzim yang terdapat dalam perut yang akan
mulai mencerna protein dengan memecah protein menjadi bagian–bagian yang lebih
kecil. Enzim
ini termasuk protease; pepsin disekresi dalam bentuk inaktif, pepsinogen, yang
akan diaktifkan oeh asam lambung. Enzim ini diproduksi oleh bagian mukosa dalam
perut yang berfungsi untuk mendegradasi protein (Anonim, 20063).
Enzim ini memiliki pH
optimum 2-4 dan akan inaktif pada pH diatas 6. Pepsin adalah salah satu dari 3
enzim yang berfungsi untuk mendegradasi protein yang lain adalah kemotripsin
dan tripsin. Pepsin disintesa dalam bentuk inaktif oleh lambung; asam
hidroklori; juga diproduksi oleh gastric
mucosa dan kemudian akan diaktifkan pada pH optimum yaitu 1-3 (Anonim, 20063).
4.
Buffer Walphole 0.2 N
Dalam analisa kecernaan protein, larutan
buffer Walphone 0,2 N pH 2 digunakan untuk mendapatkan kondisi optimum bagi
aktivitas enzim pepsin sehingga enzim akan bekerja dengan baik mengkatalisis
hidrolisis protein pada sampel.
5.
TCA 20%
Fungsi TCA adalah untuk
menghentikan jalannya reaksi hidrolisis dengan cara mendenaturasi enzim karena
sifat TCA adalah asam. Reagen ini menghentikan reaksi enzimatis karena sifatnya
yang asam sehingga enzim menjadi inaktif dan kehilanagan fungsi katalitiknya.